Pages

Rabu, 03 Februari 2010

Ilmu Sosial Profetik

Ilmu Sosial Profetik atau biasa disingkat ISP adalah salah satu gagasan penting Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma ISP. Kegelisahan Keilmuan Bagi August Comte, sang pencipta istilah “sosiologi”, sosiologi adalah puncak perkembangan positivisme. Tak heran jika kemudian ilmu yang satu ini berkembang dengan corak yang sangat positivistik. Sebenarnya Comte tidak sedang mengarahkan sosiologi untuk menjadi positivistik, ia hanya menyuarakan kecenderungan zaman. Di masanya, positivisme menjadi ukuran sahih tidaknya ilmu pengetahuan. Ilmu alam menjadi model bagi orientasi ilmu tentang masyarakat yang sebelum Comte disebut sebagai “fisika sosial”, atau ilmu pengetahuan alam tentang masyarakat. Proses-proses sosial tidak lagi dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tapi sebagai suatu peristiwa alam. [1] Setidaknya ada tiga pengandaian dalam ilmu-ilmu sosial positivis. Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral dan bebas nilai.[2] Ketiga dasar positivisme itu pun kemudian terbukti rapuh. Fenomena sosial tidak sama dengan fenomena alam sehingga pemakaian metode ilmu alam untuk mengkaji fenomena sosial adalah salah arah. Teori-teori yang tercipta juga tidak universal sebagaimana klaim positivis, tapi sangat terkait dengan dimensi lokal dan temporal di mana teori itu muncul. Demikian pula, dalam kenyataannya, ilmu sosial ternyata tidak pernah mampu melepaskan diri dari keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu. Klaim bebas nilai tak lebih dari sebentuk hipokrasi intelektual. Inilah gugatan-gugatan yang dilontarkan sebagian ilmuwan sosial, baik Barat maupun Timur, terhadap positivisme. Klaim bebas nilai menyebabkan ilmu-ilmu sosial hanya berusaha menjelaskan realitas (erklaren) secara apa adanya tanpa melakukan pemihakan, atau memahami realitas (verstehen) kemudian memaafkannya. Teori-teori sosial melulu ingin menyalin fakta masa kini. Dengan cara itu, ilmu sosial diam-diam melestarikan masa kini, sehingga, dengan kedok tidak memihak, netral, bebas nilai, teori-teori itu menutupi kemungkinan perubahan ke masa depan. [3] Karena itu teori yang mengklaim dirinya bebas nilai pada hakekatnya juga memihak, memihak kemapanan. Salah satu perlawanan sengit terhadap logika positivisme datang dari para penganut teori ktiris. Teori Kritis hendak mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan referensi pada tujuannya. Karenanya, di dalam teori kritis, terkandung muatan utopia tertentu yang menyebabkan pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya tidak netral. Dengan semangat yang sama, Kuntowijoyo lalu melontarkan ide tentang Ilmu Sosial Profetik. Ilmu Sosial Profetik tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. Ilmu Sosial Profetik tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan masyarakatnya. Ilmu Sosial Profetik kemudian merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi Ref: http://wikipedia.org