99 Cahaya di Langit Eropa, Perjalanan Menapaki Jejak Islam di Eropa, buku ini saya beli di Gramedia baru minggu-minggu kemarin, di tulis oleh Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra.
"Novel perjalanan ini menunjukkan bahwa kebudayaan dan teknologi selalu berjalan berdampingan, saling mengisi, menentukan masa depan suatu Peradaban." ini adalah kata-kata dari Bapak B.J. Habibie yang ada tepat diatas judul buku.
Buku luar biasa yang lahir dari goresan tangan emas orang-orang yang luar biasa, buku ini menarik esensi yang tidak biasa dari sebuah perjalanan ke luar negeri. Saya adalah salah satu penggemar novel-novel yang bertemakan Luar negeri, beberapa buku sudah saya lumat seperti Selimut Debu dan Garis Batas nya Mas Agustinus Wibowo, 9 Summer 10 Autumn nya Mas Iwan Setyawan, yang rela meninggalkan jabatan Direktur nya di New York untuk mengabdi di Negeri tercinta, Indonesia. Sungguh sampai saat ini saya masih kagum dengan keputusan beliau, mengabdi di tengah kecemerlangan karir yang menjamin kehidupan duniawi.
Tidak lupa 2 dari Trilogi Negeri 5 Menara sudah saya baca hanya dalam waktu singkat, novel yang mengisahkan tentang perjalanan dari Pondok Pesantren Gontor Ponorogo menuju impian mereka menjelajah Khazanah ilmu pengetahuan di Negeri asing. Sampai saat ini saya masih menunggu kelanjutan kisah Alif, semoga awal tahun depan Bang Ahmad Fuadi sudah dapat menyajikan seri ketiga dari Trilogi Negeri 5 Menara nya. Man Jadda Wa Jada. :)
Buku 99 Cahaya di Langit Eropa baru saya baca sampai penghujung bagian 24, pada awal kisah buku ini mendeskripsikan awal-awal runtuhnya kekuasaan Turki Ottoman, sosok panglima perang yang di deskripsikan pada bagian awal buku kemudian di kenal dengan Kara Mustafa Pasha, yang merupakan kakek dari Fatma, sahabat penulis yang dikenal melalui institusi pendidikan yang sama. Sebuah kebetulan yang luar biasa menurut saya.
Vienna, Paris, Madrid, Cordoba, Granada dan Istanbul masuk ke dalam manifest perjalanan penulis selama di benua eropa, buku ini mengungkapkan era-era keemasan Islam di benua eropa yang dulu ternyata pernah bersinar dengan terang benderang disana. Perjalanan awal berkisah di Wina, Austria. disinilah awal perkenalan penulis dengan Fatma Pasha, seorang imigran Turki yang dikenal dari sebuah kelas Bahasa Jerman yang di selenggarakan oleh pemerintah Austria.
Satu hal yang baru saya sendiri sadari, disana ada sungai terkenal yang membelah kota Wina menjadi dua. Donau atau Danube, sungai yang menginspirasi Johann Strauss menciptakan lagu waltz The Blue Danube.
Perkenalan penulis dengan Imam di Vienna Islamic Center yang ada di tepian sungai Blue Danube mengantarkan penulis berkenalan dengan Marion Latimer, seorang mualaf dari Paris.
"Paris tak hanya tentang Eiffel atau Louvre. Lebih dari dua bangunan "kecil" itu. Aku menemukan imanku di sini". Museum Louvre tak hanya menyimpan karya-karya dunia seperti lukisan-lukisan karya Rembrandt, Michel Angelo, Rafael, Reubens dan tentunya lukisan Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci.
Museum ini menyimpan peninggalan dari zaman ke zaman, dari satu imperium ke imperium berikutnya, termasuk didalamnya terdapat sisa-sisa peradaban Islam yang masih tetap melekat disana.
Museum Louvre menyimpan koleksi piring berbahan terakota yang salah satunya berhiaskan seni kaligrafi arab kuno, Kufic. dalam sebuah piring terbaca tulisan "Al'ilmu murrun syadidun fil bidayah, wa ahla minal 'asali fin-nihayah" yang artinya kurang lebih "Ilmu pengetahuan itu pahit pada awalnya, tetapi manis melebihi madu pada akhirnya".
Siapa sangka dalam lukisan Bunda Maria dan Yesus di Museum Louvre terdapat kaligrafi arab bertuliskan La ilaha Illallah yang tergores dalam Hijab yang dikenakan oleh Maria..?
Kisah ini belum tuntas, masih akan ada banyak jejak-jejak peradaban Islam di benua Eropa yang akan ditelusuri jauh lebih dalam, yang membuktikan bahwa masa-masa islam pernah menjadi pusat dari semua peradaban.
~MTASuandi
~MTASuandi
0 comments:
Posting Komentar