Pages

Senin, 04 Januari 2010

Resonansi Masa Lalu

Resonansi Masa Lalu
Oleh
Muhammad Teguh Asep Suandi
4 Januari 2010,13.02
Menyibak kembali lembar demi lembar kisah masa lalu, menggali kenangan indah dalam sebuah kehidupan. Mencari esensi melalui sebuah kaleidoskop kehidupan. Kisah cinta masa remaja yang begitu menarik dan penuh intrik. Sebuah kisah singkat, tentang cinta. Kisah ini dimulai ketika aku duduk di bangku SMA kelas 11, tanpa disangka, watu itu kelasku kehadiran tamu baru, namanya Evi Praviawati, gadis bali perawakan tinggi dengan senyuman yang sungguh menawan, getarannya mungkin bias menghancurkan karang-karang dilautan. Semua mata seolah tersihir, denyut nadipun seakan terhenti, beruntung Evi tersenyum tidak lama. Tempat tinggal Evi cukup jauh dari sekolah, harus melewati dua desa dari desa tempat sekolah berada. Jika ditempuh dengan berjalan kaki, mungkin bias memakan waktu setengah jam, itupun harus melewati hamparan sawah dan menyebrangi riak sungai. Perkenalan lebih lanjut dengan Evi ketika ia bergabung di Gerakan Pramuka. Waktu itu aku menjabat sebagai Ketua Dewan Ambalan dan Evi Sekretarisnya. Duh….. mimpi apa dapat sekretaris seperti dia…??. Karena aktif di Pramuka, banyak kegiatan perkemahan yang sering kita ikuti, suka duka menjadi panitia perkemahan kita lalui bersama. Ada pengalaman menarik dari setiap kegiatan Pramuka. Suatu sore aku ada tugas untuk mengajar Pramuka di sekolah yang letaknya di desa tetangga, syukurnya yang menjadi pendampingku waktu itu adalah Evi. Perjalanan dimulai dari sekolahku, kurang lebih 20 menit berjalan kaki, kami sudah masuk ke daerah desa tetangga, ternyata di perjalanan hujan deras, kita terjebak ditengah derasnya hujan dan lapangnya daerah pesawahan. Daerahku memang daerah pedesaan, masih banyak sawah dan kebun yang luasnya berhektar-hektar. Tidak ada tempat untuk berteduh, aku lihat Evi kedinginan, tubuhnya sedikit menggigil. Duh….. kasihan, dia hanya bias tersenyum ketika aku memandang wajahnya. Beruntung senyumannya tidak lama. Waktu itu seperti sedang shooting film India, namun sayangnya bukan lagu bollywood yang berkumandang, tapi justru gemuruh guntur dan kilatan petir yang bersahutan. Cerita berlanjut tidak hanya dari organisasi, namun juga kegiatan belajar mengajar di sekolah, Evi gadis yang pandai mengolah kata, merangkainya dengan tutur bahasa yang indah. Pola pikirnya pun cukup dewasa, pemikirannya penuh inovasi dan cita-cita tinggi, tidak hanya terlibat dalam diskusi mata pelajaran, tapi juga diskusi pribadi. Tak jarang kit saling bertukar pikiran dan saling mengemukakan argumentasi. Seiring dengan kedekatanku dengan Evi, lambat laun namun pasti, cintapun mulai bersemi, tak terhitung berapa banyak puisi cinta yang tercipta untuknya. Kehadirannya menjadi buah inspirasi . dan tak terhitung pula berapa tetes air mata ini terjatuh karena mencintainya. Evi gadis yang energik, penuh semangat dan juga pandai bersosialisasi. Kesehariannya yang menggunakan bahasa Indonesia tidak menjadi penghalang dalam berkomunikasi, karena mayoritas teman-temannya memakai bahasa sunda. Evi memang kurang mengerti bahasa sunda, wajar memang, ia lahir di Aik Meil, daerah Nusa Tenggara, dan kemudian besar di Bali. Sesekali Evi memakai bahasa sunda, tapi jujur bukan itu yang aku inginkan, bahasanya terkadang ngawur, tidak jarang pula mengundang tawa teman-temannya. Kisah berlanjut sampai aku duduk di kelas 12, sejauh ini tidak ada kata cinta yang sempat terucap dariku yang langsung aku tujukan padanya. Hanya puisi-puisi yang terpajang di mading sekolah yang sebenarnya ingin kusampaikan langsung untuknya. Terkadang aku tuliskan kata-kata romantis ala anak remaja dengan sandi-sandi pramuka di diary kecilku. Sejak rasa cinta itu mulai ada, pikiran inipun terkadang terbagi antara cinta dan cita-cita. Pada masa kelas 12 semakin banyak waktuku disekolah untuk berdiskusi dengannya, terlebih ketika Kepala Sekolah menunjukku untuk menjadi tutor sebaya untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, sebagai upaya persiapan menghadapi Ujian Nasional. Semakin banyak waktu ini untuk berjuang bersama teman-teman kelas 12 untuk sukses di Ujian Nasional. Evi lebih aktif ketika membahas pelajaran Bahasa Indonesia dibanding dengan mata pelajaran yang lainnya. Argumentasinya sungguh menarik untuk dipelajari, dan ternyata dia suka sastra. Perkenalan dengan Evi berlanjut kepada perkenalan dengan keluarganya. Ibunya orang yang ramah, dari sorot mata nya tersirat bahwa kasih sayangnya begitu besar bagi anak-anaknya. Sering terjadi perbincangan antara aku dan ibunya Evi, mulai masalah organisasi, sampai ke masalah pribadi. Beberapa bulan menjelang Ujian Nasional, Evi dan keluarganya pindah ke Cirebon, orang tuanya membuka rumah makan disana. Beruntung Evi tetap sekolah di tempatku, padahal jarak yang harus ditempuh lebih jauh lagi, jarak yang jauh sempat merenggangkan hubunganku dengan keluarganya. Lambat laun api cinta semakin membara, benih-benih rindu mulai tumbuh menyelimuti hati. Perasaan ini berkecamuk ketika satu hari saja tidak bertemu dengannya. Sampai pada suatu hari, Evi tidak masuk sekolah, kudengar kabarnya dia sakit. Ada cerita menarik disini, ketika itu aku hanya punya uang Rp.4000, setelah dihitung-hitung cukup untuk sekedar ongkos pulang-pergi ke rumah Evi. Dengan hati mantap, sepulang sekolah aku langsung meluncur menuju ke rumahnya. Ah….. lega rasanya ketika berjumpa. Beberapa jam lamanya aku habiskan waktu untuk berbincang dengannya. Obrolan yang selalu seru. Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 5 sore, selesai shalat ashar aku pamit pulang pada Evi dan orang tuanya. Meskipun kondisinya belum cukup pulih, Evi mengantarku sampai sebrang jalan raya, semakin sore ternyata semakin jarang mobil yang lewat. Namun beruntung, tak lama menunggu, akupun berlalu dengan sebuah minibus, meninggalkan Evi dengan membawa perasaan lega dihati. Dalam lamunan aku tersadar, mobil yang harus kunaiki harus satu kali lagi, kalu sore-sore begini sudah tidak ada. Ah…… sialnya…… kalau harus naik ojek mana cukup uangnya. Tak lama berfikir akupun membuat keputusan untuk turun di jalan yang berbeda, sebuah jalan desa yang akan mengantarku pulang tapi dengan resiko harus berjalan kaki. Kulihat matahari senja mulai duduk diperaduannya, sinar merah keemasan menghiasi langit sore itu. Lembayung kuning membuat suasana cukup terang. Jalanan tampak sepi, hanya sawah dan perkebunan yang terhampar luas. Belum setengah perjalanan pulang ternyata cukup menyita waktu lama. Adzan maghrib berkumandang, kuputuskan untuk shalat maghrib di rumah temanku, yang jaraknya kurang lebih 200 m lagi. Hari semakin gelap, kupercepat langkah menyusuri perkebunan tebu dikanan-kiri dengan jantung berdegup kencang. Kurasakan perut ini sakit, aku teringat hari ini sedang puasa. Sekarang sudah waktunya berbuka. Senyum seorang sahabat dengan hangat menyapa kedatanganku, dihidangkannya secangkir kopi dan makanan ringan. Alhamdulillah akhirnya aku bisa berbuka puasa. Seusai shalat maghrib aku sedikit berbincang, tapi tak lama menjelang isya aku pamit pulang. Rumahku ada di desa sebrang, jadi perjalanan pun harus dilanjutkan, kurang lebih 20 menit lagi baru sampai dirumah. Dengan sedikit keraguan kaki ini melangkah menapaki jalanan desa yang gelap gulita, malam itu rembulan hanya tipis memancarkan sinarnya, sejenak melepas kekhawatiran kulihat langit dengan sejuta pesonanya, milyaran bintang berpendar membentuk panorama angkasa. Jangkrik-jangkrik berformasi membentuk sebuah melodi, kulihat ada sinar senter di tengah sawah, biasanya itu adalah petani yang sedang memeriksa sawahnya atau pencari belut yang biasa beroperasi pada saat setelah adzan isya berkumandang. Syukurlah akhirnya aku sampai rumah dengan selamat. Pengalaman yang cukup berkesan dan memberi kenangan dalam hidupku. Hingga detik ini kenangan itu masih tersimpan rapi si lubuk hati. Tulisan ini dibuat kurang lebih satu setengah tahun yang lalu..

0 comments: